Sumber [arrahmah.com] Pertama kali Umar bin Khattab berniat meletakkan Kalender tahun Islam, ia mengajak musyawarah para sahabat untuk menentukan momentum apa yang paling tepat untuk dijadikan patokan awal tahun tersebut; apakah kelahiran Rasul, diangkatnya Muhammad saw. menjadi Rasul, wafatnya Rasul, atau Hijrah Rasul dari Makkah ke Madinah? Hingga akhirnya mereka sepakat bahwa Hijrah merupakan event paling tepat untuk mengawali sistem kalender Islam tersebut yang hingga kini dikenal dengan sebutan kalender Hijriyah.
Jika kita sadari, esensi hijrah itu sendiri bukanlah sekedar eksodus umat Islam dari Makkah menuju Madinah,
melainkan upaya penyelamatan ideologi bersama dari serangan kaum kafir Makkah, yang akhirnya teritorial Madinah dapat dijadikan markas untuk aplikasi hukum Islam dalam bentuk ibadah-muamalat hingga urusan keluarga dan Negara. Oleh karenanya bukan tanpa alasan jika Umar bin Khattab menjadikan Hijrah sebagai tonggak sejarah umat Islam.
Itulah yang perlu kita sadari sekarang, bahwa kita sebagai umat Islam memiliki kesepakatan akidah yang sama, syariat yang sama, dan tujuan yang sama. Maka apa pun perbedaan yang terjadi antara umat Islam selama itu hanya berkisar tentang “kulit luar” saja tidaklah perlu dijadikan alasan untuk berpecah-belah.
Salah satu sebab yang memicu terjadinya perpecahan tak jarang berangkat dari ikhtilaf cabang syariat yang pada dasarnya itu merupakan konsekuensi logis dari upaya pemahaman para mujtahid terhadap Al-Qur’an maupun Sunnah. Bahkan perbedaan telah terjadi jauh ketika masa Rasulullah dan para salaf shalih. Pun demikian, perbedaan pendapat tersebut tak mencegah mereka untuk tetap menjadi saudara seiman yang tetap rukun.
Contoh tersebut bisa kita lihat ketika imam Syafi’i menunaikan shalat subuh bersama penganut madzhab Hanafi di masjid Imam mereka (Imam Abu Hanifah) di Baghdad. Dengan jiwa besar beliau meninggalkan pendapatnya sendiri dan tidak membaca doa qunut demi menghormati pendapat almarhum Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya. Tapi berbeda dengan dahulu, zaman sekarang tak sedikit dijumpai orang-orang yang –katanya– mengikuti madzhab Syafi’i tapi hanya gara-gara masalah qunut saja bisa jadi saling “menikam.”
Selain perbedaan pendapat dalam cabang syariah, terkadang fanatisme kelompok tertentu menyebabkan perpecahan yang juga tidak remeh. Lihat saja di negeri kita yang sangat penuh dengan firqah, parpol, ormas, lembaga, forum atau kesatuan apa sajalah yang menyandingkan nama mereka terhadap Islam dan mengaku memperjuangkan Islam. Namun ketika mereka saling bertemu dapat disaksikan betapa sengitnya perdebatan antar mereka yang terkadang sampai pada tahap mencaci dan menganggap diri sendiri paling benar. Entah sesungguhnya ideologi Islam yang mereka perjuangkan atau kelompoknya?
Allah saja dalam surat Thaha ayat 44 memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun –‘alaihimassalam– untuk berucapkata dengan lemah-lembut terhadap fir’aun yang jelas-jelas setan paling laknat, lalu bagaimana mungkin seorang muslim begitu fasihnya menggunjing saudaranya yang telah mengikrarkan dua syahadat? Itu sebabnya kacamata fanatisme dapat membutakan mata, sehingga tidak dapat mengambil kebaikan dari orang yang telah dianggap buruk dan tidak bisa memilah keburukan dari orang yang terlanjur dianggap benar.
Hasan al-Banna pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin dalam poin ke delapan dari Ushul al-‘Isyrin-nya menyerukan bahwa perbedaan pendapat dalam permasalahan cabang fikih tidak perlu dijadikan sebab untuk berpecah-belah dalam beragama. Begitu juga Taqiyyuddin an-Nabhani pendiri gerakan Hizbut Tahrir –yang juga semasa dengan Hasan al-Banna ketika belajar di Darul Ulum cabang Universitas Al-Azhar kala itu– terlihat jelas dari puluhan karanganannya akan azzamnya yang kuat untuk persatuan umat.
Hingga kini beberapa parpol dan pergerakan Islam di berbagai negara termasuk Indonesia banyak terinspirasi dari dua tokoh tersebut. Begitu juga dua tokoh nasional yang cukup berpengaruh; KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan selaku pendiri ormas Islam terbesar di Indonesia –yang keduanya sempat menuntut ilmu di Makkah dan menjadi murid Syaikh Ahmad Khatib– tersirat dari pancaran ilmu mereka yang mendalam tentang bagaimana menyikapi perbedaan dan keberagaman. Oleh karenanya mereka tidak pernah cek-cok hanya gara-gara masalah rukyat atau hisab.
Namun begitulah, terkadang murid suka “bandel” akan ajaran gurunya, pengikut seringkali membelot dari ajaran pimpinannya. Atau mungkin ini tafsiran dari sabda Rasulullah saw. 14 abad silam bahwa akan datang suatu masa di mana kaum muslimin dikepung dari berbagai penjuru layaknya hidangan di atas meja, memang jumlah umat muslimin saat itu sangat banyak namun sama sekali tak memiliki kualitas, ibarat buih laut yang selalu dihempas ombak ke pinggir pantai, tak berbobot walaupun sangat “ramai.”
Hal kedua yang dapat dipahami dari arti sebuah hijrah adalah perpindahan dari era kebodohan (jahiliyyah) menuju era pencerdasan. Jika dulu orang Arab desebut bodoh karena suka mabuk-mabukan dengan perasan anggur dan kurma, maka istilah apa yang lebih tepat jika sekarang mabuk bisa dengan vodka, whisky hingga ganja dan ekstasi. Jika dulu orang Arab suka membunuh bayi perempuan, maka kini tak jarang jika bayi belum lahir pun sudah dibunuh dan diaborsi. Jika dulu pencuri dipotong tangannya karena mengambil 2 dinar, maka kini 2 triliyun pun bisa diambil oleh para pencuri berdasi. Jika dulu perzinahan hanya dapat dilakukan berbeda jenis antara wanita dan lelaki, maka kini “perzinahan” bisa dilakukan antar sesama jenis, bahkan dilegitimasi dan bangga lagi. Na’udzubillah.
Kebodohan seperti ini jelas merupakan sebuah musuh bersama yang seluruh kaum muslimin sepakat untuk memeranginya, baik sponsornya dari orang non-Islam yang seratus persen kafir maupun orang yang berlabel Islam tapi berideologi kafir. Baik promotornya dari musuh di luar “selimut” maupun di dalam “selimut.” Akan tetapi sebagai manusia biasa yang bukan Malaikat dan bukan Rasul kita hanya diperintah untuk menghukumi seseorang dari aspek dzahir eksternal saja, sedangkan aspek batin internal adalah urusannya dengan Yang Maha Mengetahui di hari nanti.
Jika telah dipahami adanya common enemy yang wajib diperangi bersama, maka tidak mustahil kalau kelompok Islam yang menjamur itu dapat saling “patungan” untuk sekedar mendirikan stasiun TV Islam Indonesia sebagai corong dakwah, atau menciptakan produk-produk alternatif yang lebih bermutu dari produk israel yang telah diboikot. Namun jika belum, maka tak usah terlalu berharap mengharamkan film Hollywood jika sinetron lokal berbau syirik saja tidak bisa dicekal. Tidak perlu berapi-api mengharamkan bank konvensional jika masih banyak bank “Islami” bahkan BMT yang menggunakan konsep riba namun dibiarkan beroperasi menipu rakyat.
Itulah sesungguhnya esensi daripada hijrah, yaitu kesepakatan akan akidah yang sama, menuju perbaikan yang sama, dan memiliki musuh yang sama. Namun bagaimana pun upaya manusia, perbedaan memang tak akan dapat dilebur menjadi satu jenis. Oleh karenanya, kita hanya diperintah untuk mengolah keberagaman ini menjadi sebuah “bangunan” yang saling menguatkan. Biarlah yang pasir tetap menjadi pasir, batu menjadi batu. Yang kita harapkan adalah komposisi perpaduan antara batu, pasir, bata dan semen untuk membentuk sebuah bangunan kokoh bernama “Umat Islam.”
Dengan demikian, “memperingati” tahun baru Hijriyah bukanlah seperti umumnya peringatan tahun baru Masehi dengan ritual kembang apinya yang kurang kontemplatif. “Memperingati” tahun baru Hijriyah juga berarti kilas-balik sejarah dan memahami serta menerapkan filosofi hijrah sebagai sebuah titik-tolak pembebasan umat manusia dari kebodohan menuju pencerdasan akal dan hati. “Memperingati” tahun baru Hijriyah juga berarti membangun paham positif untuk merajut dan memperkokoh kalimah sawa’ antar sesama Muslim. Oleh karenanya, mari kita “peringati” tahun baru 1433 Hijriyah!
Oleh:
Musa Yusuf
ym & fb: yusuf_677@yahoo.com
No comments:
Post a Comment