Sumber [http://www.eramuslim.com] Suatu malam, jauh sepeninggal
Rasulullah, Bilal bin Rabbah, salah seorang sahabat utama, bermimpi
dalam tidurnya. Dalam mimpinya itu, Bilal bertemu dengan Rasulullah.
"Bilal, sudah lama kita berpisah, aku rindu sekali kepadamu," demikian Rasulullah berkata dalam mimpi Bilal.
"Ya, Rasulullah, aku pun sudah
teramat rindu ingin bertemu dan mencium harum aroma tubuhmu," kata Bilal
masih dalam mimpin-ya. Setelah itu, mimpi tersebut berakhir begitu
saja. Dan Bilal bangun dari tidurnya dengan hati yang gulana. Ia
dirundung rindu.
Keesokan harinya, ia menceritakan
mimpi tersebut pada salah seorang sahabat lainnya. Seperti udara, kisah
mimpi Bilal segera memenuhi ruangan kosong di hampir seluruh penjuru
kota Madinah. Tak menunggu senja, hampir seluruh penduduk Madinah tahu,
semalam Bilal bermimpi ketemu dengan nabi junjungannya.
Hari itu, Madinah benar-benar
terbungkus rasa haru. Kenangan semasa Rasulullah masih bersama mereka
kembali hadir, seakan baru kemarin saja Rasulullah tiada. Satu persatu
dari mereka sibuk sendiri dengan kenangannya bersama manusia mulia itu.
Dan Bilal sama seperti mereka, diharu biru oleh kenangan dengan nabi
tercinta.
Menjelang senja, penduduk Madinah
seolah bersepakat meminta Bilal mengumandangkan adzan Maghrib jika tiba
waktunya. Padahal Bilal sudah cukup lama tidak menjadi muadzin sejak
Rasulullah tiada. Seolah, penduduk Madinah ingin menggenapkan
kenangannya hari itu dengan mendengar adzan yang dikumandangkan Bilal.
Akhirnya, setelah diminta dengan
sedikit memaksa, Bilal pun menerima dan bersedia menjadi muadzin kali
itu. Senjapun datang mengantar malam, dan Bilal mengumandangkan adzan.
Tatkala, suara Bilal terdengar, seketika, Madinah seolah tercekat oleh
berjuta memori. Tak terasa hampir semua penduduk Madinah meneteskan air
mata. "Marhaban ya Rasulullah," bisik salah seorang dari mereka.
Sebenarnya, ada sebuah kisah yang
membuat Bilal menolak untuk mengumandangkan adzan setelah Rasulullah
wafat. Waktu itu, beberapa saat setelah malaikat maut menjemput kekasih
Allah, Muhammad salallahu alaihi wasalam, Bilal mengumandangkan
adzan. Jenazah Rasulullah, belum dimakamkan. Satu persatu kalimat adzan
dikumandangkan sampai pada kalimat, "Asyhadu anna Muhammadarrasulullah." Tangis penduduk Madinah yang mengantar jenazah Rasulullah pecah. Seperti suara guntur yang hendak membelah langit Madinah.
Kemudian setelah, Rasulullah telah dimakamkan, Abu Bakar meminta Bilal untuk adzan. "Adzanlah wahai Bilal," perintah Abu Bakar.
Dan Bilal menjawab perintah itu,
"Jika engkau dulu membebaskan demi kepentinganmu, maka aku akan
mengumandangkan adzan. Tapi jika demi Allah kau dulu membebaskan aku,
maka biarkan aku menentukan pilihanku."
"Hanya demi Allah aku membebaskanmu Bilal," kata Abu Bakar.
"Maka biarkan aku memilih pilihanku," pinta Bilal.
"Sungguh, aku tak ingin adzan untuk seorang pun sepeninggal Rasulullah," lanjut Bilal.
"Kalau demikian, terserah apa maumu," jawab Abu Bakar.
Di atas, adalah sepenggal kisah
tentang Bilal bin Rabah, salah seorang sahabat dekat Rasulullah
salallahu alayhi wasalam. Seperti yang kita tahu, Bilal adalah seorang
keturunan Afrika, Habasyah tepatnya. Kini Habasyah biasa kita sebut
dengan Ethiopia.
Seperti penampilan orang Afrika
pada umumnya, hitam, tinggi dan besar, begitulah Bilal. Pada mulanya, ia
adalah budak seorang bangsawan Makkah, Umayyah bin Khalaf. Meski Bilal
adalah lelaki dengan kulit hitam pekat, namun hatinya, insya Allah bak
kapas yang tak bernoda. Itulah sebabnya, ia sangat mudah menerima
hidayah saat Rasulullah berdakwah.
Meski ia sangat mudah menerima
hidayah, ternyata ia menjadi salah seorang dari sekian banyak sahabat
Rasulullah yang berjuang mempertahankan hidayahnya. Antara hidup dan
mati, begitu kira-kira gambaran perjuangan Bilal bin Rabab.
Keislamannya, suatu hari diketahui
oleh sang majikan. Sebagai ganjarannya, Bilal di siksa dengan berbagai
cara. Sampai datang padanya Abu Bakar yang membebaskannya dengan
sejumlah uang tebusan.
Bisa dikata, di antara para
sahabat, Bilal bin Rabah termasuk orang yang pilih tanding dalam
mempertahankan agamanya. Zurr bin Hubaisy, suatu ketika berkata, orang
yang pertama kali menampakkan keislamannya adalah Rasulullah. Kemudian
setelah beliau, ada Abu Bakar, Ammar bin Yasir dan keluarganya, Shuhaib,
Bilal dan Miqdad.
Selain Allah tentunya, Rasulullah
dilindungi oleh paman beliau. Dan Abu Bakar dilindungi pula oleh
sukunya. Dalam posisi sosial, orang paling lemah saat itu adalah Bilal.
Ia seorang perantauan, budak belian pula, tak ada yang membela. Bilal,
hidup sebatang kara. Tapi itu tidak membuatnya merasa lemah atau tak
berdaya. Bilal telah mengangkat Allah sebagai penolong dan walinya, itu
lebih cukup dari segalanya.
Derita yang ditanggung Bilal bukan
alang kepalang. Umayyah bin Khalaf, sang majikan, tak berhenti hanya
dengan menyiksa Bilal saja. Setelah puas hatinya menyiksa Bilal, Umayyah
pun menyerahkan Bilal pada pemuda-pemuda kafir berandalan. Diarak
berkeliling kota dengan berbagai siksaan sepanjang jalan. Tapi dengan
tegarnya, Bilal mengucap, "Ahad, ahad," puluhan kali dari bibirnya yang
mengeluarkan darah.
Bilal bin Rabah, meski dalam
strata sosial posisinya sangat lemah, tapi tidak di mata Allah. Ada satu
riwayat yang membukti-kan betapa Allah memberikan kedudukan yang mulai
di sisi-Nya.
Suatu hari Rasulullah memanggil
Bilal untuk menghadap. Rasulullah ingin mengetahui langsung, amal
kebajikan apa yang menjadikan Bilal mendahului berjalan masuk surga
ketimbang Rasulullah.
"Wahai Bilal, aku mendengar gemerisik langkahmu di depanku di dalam surga. Setiap malam aku mendengar gemerisikmu."
Dengan wajah tersipu tapi tak bisa
menyembunyikan raut bahagianya, Bilal menjawab pertanyaan Rasulullah.
"Ya Rasulullah, setiap kali aku berhadats, aku langsung berwudhu dan
shalat sunnah dua rakaat."
"Ya, dengan itu kamu mendahului
aku," kata Rasulullah membenarkan. Subhanallah, demikian tinggi derajat
Bilal bin Rabah di sisi Allah.
Meski demikian, hal itu tak
menjadikan Bilal tinggi hati dan merasa lebih suci ketimbang yang lain.
Dalam lubuk hati kecilnya, Bilal masih menganggap, bahwa ia adalah budak
belian dari Habasya, Ethiopia. Tak kurang dan tak lebih.
Bilal bin Rabah, terakhir
melaksanakan tugasnya sebagai muadzin saat Umar bin Khattab menjabat
sebagai khalifah. Saat itu, Bilal sudah bermukim di Syiria dan Umar
mengunjunginya.
Saat itu, waktu shalat telah tiba
dan Umar meminta Bilal untuk mengumandangkan adzan sebagai tanda
panggilan shalat. Bilal pun naik ke atas menara dan bergemalah suaranya.
Semua sahabat Rasulullah, yang ada
di sana menangis tak terkecuali. Dan di antara mereka, tangis yang
paling kencang dan keras adalah tangis Umar bin Khattab. Dan itu,
menjadi adzan terakhir yang dikumandangan Bilal, hatinya tak kuasa
menahan kenangan manis bersama manusia tercinta, nabi akhir zaman,
Rasulullah salallahu alaihi wasalam.
No comments:
Post a Comment