Oleh: Sholih Hasyim
SETIAP momentum bulan Rajab, biasanya seorang
muslim disegarkan ingatannya oleh peristiwa monumental, yaitu Isra dan
Mi’raj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam . Beliau diperjalankan
oleh Allah Subhanahu Wata’ala setelah mengalami tahun kesedihan (‘amul huzni).
Disebabkan oleh kematian istri tercintanya dan paman yang dihurmatinya,
yang selama ini keduanya selalu mensupport beliau dalam suka dan duka
merintis jalan dakwah.
Perjalanan beliau menembus dimensi ruang dan waktu, memberikan
pelajaran mendasar bahwa kerumitan apapun yang dihadapi seorang pejuang
kebenaran dan keadilan akan ditemukan solusinya dengan media menegakkan
shalat. Dengan shalat, kesulitan apapun yang
dihadapi akan menjadi
mudah, karena mengundang intervensi dan keterlibatan Allah Subhanahu
Wata’ala (tadakhul rabbani).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat
sebagai penolongmu[*], Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah (2) : 153).
Ada pula yang mengartikan : mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar (keteguhan dan ketegaran jiwa) dan shalat. Ash Shalatu mi’rajul mukmin (shalat adalah mi’raj - media untuk berinteraksi ke langit - seorang mukmin) (al-Hadits).
Selain itu, peristiwa Isra dan Mi’raj menjadi bukti yang sangat valid
alangkah agungnya perintah ibadah shalat. Berbeda dengan perintah yang
lain, perintah shalat diterima oleh Rasulullah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wassalam secara langsung menghadap-Nya di Sidratul Muntaha,
tanpa melalui perantara malaikat Jibril.
Peristiwa bersejarah tersebut, seharusnya memberikan pelajaran
berharga bagi seorang muslim untuk mengadakan evaluasi secara total dan
radikal (fundamental) mutu pelaksanaan shalat kita. Dengan harapan
ibadah mahdhah tersebut mampu memberikan pengaruh yang signifikan (atsarun fa’aal)
dalam membentuk kepribadian muslim secara utuh baik dari sisi mujahadah
(kecerdasan spiritual), ijtihad (kecerdasan intlektual) dan jihad
(kesedian untuk berkurban di jalan Allah Subhanahu Wata’ala).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا
أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ
هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu
melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian
Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al Munafiqun (63) : 9)
Dengan dievaluasi secara berkesinambungan, semoga kelak hisab shalat
lebih ringan. Juga ada peningkatan mutu baik pisik dan dimensi ruhani.
Shalat yang kita lakukan tidak sebatas kaya ritus formal serimonial yang
menjemukan, tetapi miskin aplikasi. Kita berharap shalat yang kita
lakukan fungsional memberikan maknawiyah (spirit), yang dapat mengantarkan kita menjadi sholih linafsihi (sholih untuk dirinya) dan shalih lighoirihi (shalih kepada orang lain). Dan menjaga keseimbangan dimensi hablun minallah (hubungan vertical) dan hablun minannas (hubungan horizontal).
Nilai-Nilai Tarbiyah dalam Shalat
Secara empiris mengajarkan, setidaknya ada sembilan pelajaran penting (hikmah) yang diserap dalam ibadah shalat.
Pertama: Tazkiyatun Nafs (mensucikan jiwa).
Shalat mendidik pelakunya untuk mensucikan dirinya dari virus ruhani
yang menjadi pemicu pelanggaran/penyimpangan dalam sejarah perjalanan
kehidupan manusia dahulu sampai sekarang. Yaitu, penyakit serakah
(thama’), yang diwariskan oleh Adam as. Yang berefek pada terusirnya
dari surge, takabur (sombong) yang ditularkan oleh Iblis,
berakibat sebagai penghalang masuk surga dan hasud (dengki) yang
dipusakakan oleh Qabil, pemicu terjadinya pembunuhan pertama kali di
dunia ini.
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ
وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا
تَصْنَعُونَ
“Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat
Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang
lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.Al Ankabut (29) : 45)
Kedua: Tarbiyatul Wahdah Al Islamiyah
(pendidikan persatuan umat Islam). Orang yang shalat menghadap ke
tempat/arah yang sama (kiblat), yaitu Baitullah (Ka’bah). Hal ini
menunjukkan pentingnya mewujudkan persatuan yang diikat oleh nilai-nilai
prinsip (jamaah), bukan sekedar bergerombol (majmu’ah), berkumpul
karena ikatan kerja (materi). Jamaah akan terwujud jika didorong oleh
kebersihan hati individunya dari berbagai kepentingan kecuali
menomorsatukan Allah Subhanahu Wata’ala dan mengagungkan
syi’ar-syi’arnya. Semua bentuk persahabatan, kesepahaman akan memicu
permusuhan dikemudian hari kecuali didasari oleh spirit iman dan takwa.
Tahapan persatuan diawali dari saling mengenal (taaruf), saling memahami
(tafahum), saling menyayangi (tarahum), saling menanggung (takaful),
saling menolong (tanashur).
الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az Zuhruf (43): 67).
Ketiga: Harish ‘ala waqtihi (bersungguh-sungguh dalam mengelola waktunya)
Seorang Muslim jadual kehidupannya diatur oleh waktu shalat.
Transaksi milyaran rupiah akan dia batalkan jika panggilan shalat telah
dikumandangkan. Ia yakin, jika memperoleh undangan seseorang, maka yang
mengundang sudah mempersiapakan hidangan kepada yang diundang. Apalagi
yang mengundang adalah Zat Yang Maha Kaya, sudah tentu yang disisi-Nya
lebih baik dari dunia dan seisinya. Maka, dia beruapaya melakukannya
untuk tepat waktu. Memenuhi adab lahir dan batin.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ
إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ
بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan
Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan
kepada kamu, ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah membatasi antara
manusia dan hatinya dan Sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS. Al Anfal (8): 24)
Keempat: Munadhdhamun fil Jama’ah (disiplin
dalam berorganisasi). Sholat mendidik tertib organisasi, menyangkut
tertibnya berjamaah dengan barisan yang rapi, rapat. Tidak boleh ada
barisan yang kosong agar tidak dimasuki syetan. Muslim yang satu dengan
yang lain bergaul dengan penuh kedekatan, keeratan dan keakraban.
Rasulullah bersabda : Orang beriman itu mudah untuk harmonis dan mudah
untuk diharmoniskan, tiada kebaikan bagi mukmin yang tidak mudah jinak
dan tidak mudah dijinakkan (al Hadits). Dalam al-Quran panggilan untuk
orang-orang beriman (ya ayyuhalladzina amanu – menggunakan jama’ -). Tidak ditemukan dalam al-Quran, sebutan untuk orang beriman dengan kata tunggal (ya ayyuhal mukmin).
Hal ini menunjukkan bahwa konsekwensi keimanan seseorang adalah ia
harus menempatkan dirinya bagian dari kaum muslimin di seluruh dunia.
Kelima: Tarbiyatus Sam’i wath Tha’ati
(pendidikan ketaatan). Shalat mendidik ketaatan kepada pemimpin.
Mengikuti gerakan iman, tidak mendahului walaupun sesaat, menunjukkan
adanya ketaatan dan komitmen (keterikatan yang kuat) atau loyal, serta
meniadakan penolakan perintahnya, selama perintah itu tidak untuk
bermaksiat. Sesungguhnya efek ketaatan itu akan kembali kepada kita
sendiri. “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu Wata'ala.”(HR
Ahmad). Seorang makmum menyadari jika ia tidak berhasil menanamkan
kultur sami’na wa ‘atha’na terhadap pemimpin yang disepakati, maka kelak
anak buahnya tidak akan patuh kepadanya. Agar kita memiliki anak
shalih/ah, terlebih dahulu kita harus menjadi putra yang shalih/ah bagi
orang tua kita. Jika kita mudah mengobral kutukan kepada sesepuh kita,
maka anak kita nanti akan mengutuk kita.
Keenam: Qaulu Kalimatil hak ‘inda sulthanin jair
(berani menyampaikan kebenaran di depan pemimpin yang zhalim). Shalat
mendidik keberanian mengingatkan pimpinan. Karena ia mencintai
pemimpinnya, tetapi lebih mencintai kepada kebenaran. Maka, jika imam
lupa, makmum mengingatkannya (membaca subhanallah), hal ini menunjukkan
keharusan rakyat untuk mengingatkan pemimpinnya jika melakukan
kesalahan. Tidak membiarkannya melakukan kezhaliman. Teman yang benar
bukanlah yang selalu setuju dengan pendapat kita, tetapi yang selalu
meluruskan kita jika terjerumus dalam lubang kehancuran.
Ketujuh: Tarbiyatul Musawah (mendidik
sikap egaliter). Shalat mendidik persamaan hak. Surga berhak ditempati
bagi orang yang bersegera menuju ketaatan sekalipun dia berasal dari
suku Habasyah dan neraka berhak ditempati bagi orang yang berbuat
maksiat walaupun ia berasal dari suku Quraisy. Pada shalat berjamaah,
dalam mengisi shaf tidak didasarkan pada status social jamaah, tidak
pula memandang kekayaan atau pangkat, walau dalam shaf terdepan
sekalipun. Gambaran ini menunjukkan adanya persamaan hak tanpa memandang
tinggi kedudukan maupun tua umurnya. Karena, Allah SWT tidak menilai
kedudukan, keturunan, warna kulit, tetapi menilai hati dan amal kita.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ
عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (QS. Al Hujurat (49) : 13)
Kedelapan: Tarbiyatush Shihhiyyah
(pendidikan kesehatan). Shalat mendidik hidup sehat. Shalat memberikan
kesan kesehatan, yang diwujudkan dalam gerakan di setiap rakaat, yang
setiap harinya minimal 17 rakaat secara seimbang. Hal ini merupakan
olahraga fisik secara sederhana dan mudah gerakannya. Kata ahli hikmah :
Bergeraklah terus karena dalam gerakan itu ada barakah (tambahan
kebaikan). Air yang menggenang, tidak mengalir akan menjadi sarang
kuman. Demikian pula apabila pisik tidak bergerak secara stimulan dan
simultan akan mudah keropos dan gampang terserang penyakit.
Kesembilan: Tarbiyatu Mudawamatidz Dzikr
(pendidikan kesinambungan mengingat Allah SWT). Secara etimologis shalat
bermakna doa. Karena lafadz yang dibaca dalam shalat adalah berisi doa
dan dzikir. Bahkan menegakkan shalat sesungguhnya untuk mengingat
kebesaran, kemuliaan dan keagungan-Nya.
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
“Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak)
selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.” (QS. Thaha (20) : 14)
Dengan shalat yang dilakukan lima kali sehari semalam akan menjadikan
seseorang untuk selalu mengingat-Nya. Dengan zikir kepada Allah
Subhanahu Wata’ala hati menjadi tenang, karena selalu ditemani oleh-Nya.
Rasulullah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda: Saya
selalu menemani orang yang mengingat-KU (ana jaliisu man dzakarani).
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati
Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Ra’d (13) : 28)
Bahkan, jika kita selalu mengingat Allah Subhanahu Wata’ala, Ia akan
selalu mengingat kita. Ada kedekatan hubungan hamba dengan Al Khalik.
Jika seseorang dekat dengan-Nya, maka dekat dengan rahmat, maghfirah,
dan karunia-Nya.
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula)
kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari
(nikmat)-Ku.” (QS. Al Baqarah (2) : 152).
Indikator Diterimanya Shalat
Jika shalat dilakukan dengan khusyu’ dan berlatih untuk berpisah
dengan dunia maka akan melahirkan perubahan secara kongkrit pada ranah
pola piker dan perilaku pelakunya. Selesai shalat melahirkan manusia
baru. Manusia yang tawadhu (rendah hati), tidak bersikap
sombong kepada sesama, tidak meneruskan berbuat maksiat, pada siang hari
selalu kontak dengan Allah Subhanahu Wata’ala dengan zikir, memiliki
kepekaan social terhadap kaum dhuafa dan mustadh’afin.
Ada lima indikator utama yang bisa menjadi standar (tolak ukur) diterimanya shalat seseorang, sebagaimana hadits qudsi berikut :
اِنَّمَا اَتَقَبَّلُ الصَّلاَةَ مِمَّنْ تَوَاضَعَ بِهَا لِعُظْمَتِي
وَلَمْ يَسْتَطِلْ عَليَ خَلْقِي وَلَمْ يَبِتْ مُصِرًّا عَلَى مَعْصِيَتِي
وَقَطَعَ النَّهَارَ لِذِكْرِي وَرَحِمَ المَسَاكِيْنَ وَابْنَ
السَّبِيْلَ وَالاّرْمَلّةَ وَرَحِمَ المُصَابَ
“Sesungguhnya Aku hanya akan menerima shalat dari orang yang
merendahkan diri dengan shalatnya karena kebesaran-KU, yang tidak
menyombongkan diri kepada makhluk-KU, yang tidak meneruskan maksiat
kepada-KU, yang mengisi sebagian siang dengan berdzikir kepada-KU, yang
menyayangi orang miskin, orang dalam perjalanan, wanita yang ditinggal
mati suaminya, dan yang mengasihi orang yang ditimpa musibah.” (Sayid Sabiq, dalam karya tulisnya : Islamuna, hal.119)
Jika nilai-nilai shalat tersebut diatas diwujudkan dalam kehidupan
setiap muslim maka secara aksiomatik akan terjadi pencerahan
(transformasi) dan penataan ulang orientasi dan perilaku keislaman dan
keimanan dalam seluruh aspek kehidupannya baik dalam skala kehidupan
individu, keluarga, bangsa, Negara dan dunia. Insya Allah.*
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
No comments:
Post a Comment